MAAF TIDAK MENGGUNAKAN GAMBAR PORNO! SEBAB SAYA TAKUT BLOG SAYA KEMUNCRATAN SEBELUM ANDA DOWNLOAD :D PISS GAN...

2013/01/11

Sejarah Hubungan Rusia - Indonesia


OLEH: Alexey YU. Drugov
Nama ”Indonesia” sudah dikenal di Uni Soviet lama sebelum Indonesia merdeka. Dalam buku Prof Guber yang ditulis pada 1933, Indonesia masih bernama Hindia Belanda, namun dalam buku itu telah tercantum nama ”Indonesia”.


Kami menyebut negara ini sesuai dengan sebutan yang digunakan oleh pejuang Indonesia. Pada 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dan melancarkan perang melawan kolonialisme. Kemenangan perang dan kemerdekaan menjadi hak rakyat Indonesia, namun pengakuan dari komunitas internasional sangat penting.
Uni Soviet, Ukraina, Belarus, dan sekutu-sekutu Rusia di PBB mengecam keras agresi Belanda terhadap Indonesia. Pada 1948, Uni Soviet berupaya membuka hubungan diplomatik pertama dengan pemerintah Republik Indonesia. Bahkan, pernah perwakilan dari Indonesia dan Uni Soviet menandatangani kesepakatan di Praha, namun kesepakatan tersebut dibatalkan karena Indonesia mendapat tekanan kuat dari Belanda.
Tepatnya pada 24 Desember 1949, Uni Soviet menerima pesan resmi mengenai kesepakatan hubungan antara Belanda dan Indonesia. Setelah itu, Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Vyshinsky mengirimkan telegram kepada Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Dr Mohammad Hatta.
Telegram ini berbunyi: ”Atas nama pemerintah Uni Soviet, saya dengan hormat menginformasikan kepada Anda, sejak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda, pemerintah Uni Soviet memutuskan mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia dan akan membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia.”
Dari situlah hubungan Rusia-Indonesia dimulai. Namun, pertukaran duta besar belum terjadi hingga 1954. Keadaan berlangsung lambat saat itu. Meskipun ada rentang waktu tiga tahun tidak ada pertukaran duta besar antara kedua negara, namun sebenarnya kita telah membangun hubungan diplomatik. Hingga akhirnya pada 1956, Presiden RI Soekarno untuk kali pertama berkunjung ke Uni Soviet.
Tahun 1956 merupakan tonggak kesepakatan perdagangan pertama kedua negara. Sejak itu, hubungan kedua negara terus berkembang pesat. Awalnya memang tidak mudah. Ini disebabkan adanya perbedaan politik, terutama perbedaan sistem ekonomi kedua negara. Namun, perbedaan tersebut tidak dapat menghalangi kuatnya keinginan kedua negara untuk memperkuat hubungannya.
Pada 1957, Ketua Dewan Tertinggi Uni Soviet (USSR Supreme Soviet) Klim Voroshilov berkunjung ke Indonesia. Jakarta menyambut hangat kedatangannya. Pada akhir 1950-an, Indonesia berupaya meningkatkan perekonomian dan melakukan reformasi dan modernisasi angkatan bersenjatanya. Saat itu, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal AH Nasution datang ke Amerika Serikat (AS) membawa proposal agar mendapat bantuan mereformasi angkatan bersenjata Indonesia.
Namun, AS menolaknya karena masih ada konflik yang belum terselesaikan antara Indonesia dan Belanda, terkait masalah Irian Barat. AS menolak memberi bantuan persenjataan bagi Indonesia karena khawatir akan dipergunakan untuk berperang melawan sekutu AS di Organisasi Traktat Atlantik Utara (NATO), yaitu Belanda.
Mendapat penolakan dari AS, Indonesia kemudian berpaling ke Uni Soviet. Indonesia tidak hanya mendapatkan apa yang dibutuhkan, namun dengan dukungan Uni Soviet, Indonesia mampu mengembangkan teknologi dan pengetahuannya. Angkatan bersenjata Indonesia saat itu hanya dilengkapi persenjataan dari Perang Dunia II.
Tidak hanya dari segi kuantitas, dari segi kualitas pun kekuatan persenjataan Indonesia tidak memenuhi persyaratan untuk melindungi ribuan pulau yang tersebar seluas 2 juta km persegi di wilayahnya. Saat itulah, Uni Soviet banyak memasok peralatan militer kepada Indonesia. Mulai tank, kapal perang, dan pesawat tempur dari berbagai jenis. Tentu saja semua ini tidak cuma-cuma.
Ini merupakan bagian dari kredit sebesar USD1 miliar dan Indonesia telah membayar lunas semuanya pada pertengahan 1990-an. Tidak hanya memasok peralatan militer, Uni Soviet juga memberikan pelatihan teknis kepada tentara dan jenderal asal Indonesia di akademi militer di Moskow dan Leningrad (Saint Petersburg). Selain itu, Rusia juga mengirim 1.000 instruktur ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Madiun.
Indonesia percaya penuh atas bantuan Rusia ini, begitu pula Rusia, karena hubungan kedua negara didasarkan pada ketulusan dan kejujuran. Jika ada sesuatu yang tidak beres, kedua pihak akan saling mengingatkan. Kami sadar Indonesia merupakan negara yang masih kurang pengalaman militernya, terutama pengalaman teknis. Belanda tidak mewarisi Indonesia budaya berkaitan kemampuan teknis, yang sebenarnya membutuhkan beberapa generasi untuk dapat menguasainya.
Beberapa dekade terakhir, Indonesia telah berkembang pesat dan ini berkat kerja sama militer Indonesia-Uni Soviet yang berpengaruh secara signifikan. Namun, bukan berarti hubungan baik kedua negara hanya terkait hubungan militer semata. Uni Soviet juga banyak bekerja sama dengan Indonesia dalam membangun infrastruktur sipil seperti Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta, stadion dan reaktor nuklir percobaan di Serpong.
Sayangnya, kondisi luar negeri dan domestik Indonesia tidak dapat memberi dukungan pada proyek-proyek ini. Karena ketiadaan dana, beberapa proyek ini ditinggalkan. Pada 1966–1967, ketika kondisi politik di Indonesia yang berada dalam kekuasaan Orde Baru berubah drastis, namun hubungan kedua negara masih tetap terjaga. Kedua negara sadar akan perbedaan ideologinya, akan tetapi tetap menjaga hubungan dalam batas-batas yang wajar.
Selama 30 tahun kekuasaan Orde Baru, yang berakhir pada 1998 lalu, hubungan kedua negara masih tetap terjaga. Dan sekarang kedua negara memasuki tahapan baru hubungan yang didasarkan pada saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Uni Soviet, yang sekarang berubah menjadi Federasi Rusia, tengah menanti kunjungan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia akan menjadi presiden keempat yang pernah berkunjung ke Rusia, setelah Soekarno, Soeharto, dan Megawati Sukarnoputri.
Masih banyak hal yang luput dari perhatian dan pemikiran kita. Namun, di atas semua itu, di dunia yang kompleks ini, kita perlu memikirkan soal format globalisasi. Pada 2000, MPR mengindikasikan bahwa globalisasi merupakan proses yang penting, namun bisa pula menjadi ancaman bagi Indonesia pada bidang-bidang tertentu. Dalam kerangka ini, kita berharap supaya pemerintahan SBY dapat menemukan format dalam proses globalisasi ini.
Penting bagi Indonesia mencari format baru dalam hubungan internasional. Dan kerja sama Rusia-Indonesia sebagai bagian dari pencarian format baru ini, sangat penting. Hubungan Indonesia-Rusia tidak hanya terbatas pada hubungan antar politikus dan pejabat negara, namun juga pada tataran hubungan dengan masyarakat sipil. Banyak warga negara Indonesia yang belajar di universitas-universitas Rusia. Dan seluruh hubungan baik ini menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia menjadi fokus perhatian di Rusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar